Senin, 08 Juni 2015

PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM ISLAM



Edisi: Masa Nabi Muhammad SAW
Pada awal munculnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, segala bentuk persoalan yang terjadi selalu dikembalikan kepada firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril. Jika wahyu yang diturunkan tidak datang saat muncul sebuah permasalahan, maka Nabi Muhammad SAW yang mengeluarkan solusi dari persoalan dengan lisan, perbuatan, dan ketetapannya, yang kemudian disebut sebagai As-Sunnah atau Al-Hadits. Namun meskipun demikian, solusi yang dikeluarkan dari Nabi Muhammad tersebut merupakan wahyu Allah SWT. Sebagaimana dalam surat An Najm ayat 3-4 “dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. Dengan ketetapan yang telah Allah SWT firmankan dalam ayat tersebut, menjadikan As-Sunnah sebagai wahyu yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Dengan demikian, sumber hukum pada zaman Nabi Muhammad masih berpusat pada Al-Qur’an, jika pada persoalan tersebut firman Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, dan As-Sunnah atau Al-Hadits, jika firman Allah tersebut tidak diturunkan kepada nabi Muhammad.
Dengan keadaan sebagaimana yang tersebut di atas, menjadikan Nabi Muhammad menjadi satu-satunya manusia yang dapat memberikan penetapan hukum atas sebuah persoalan yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut karena masih dapat dipermudahnya menjumpai diri Nabi Muhammad untuk menanyakan persoalan yang terjadi pada suatu permasalahan. Oleh karena itu, tidak ada seorang di antara umat muslim secara sendiri menetapkan suatu syariat (hokum) pada kejadian tertentu untuk dirinya atau orang lain. Hal tersebut karena dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW di tengah umat islam, memudahkan umat islam untuk menemui kepada Nabi Muhammad, sehingga umat islam dilarang untuk membuat fatwa untuk dirinya dengan ijtihadnya terhadap suatu persoalan, atau menetapkan ijtihadnya dalam menyelesaikan perselisihan. Akan tetapi apabila muncul persoalan atau berkecambuk sebuat perbedaan atau muncul pertanyaan atau permintaan fatwa, maka mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW, sehingga Nabi memberikan fatwa (penetapan hukum) dan menyelesaikan perselisihan umat islam, dan menjawab pertanyaan umat islam, terkadang menggunakan ayat Al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan terkadang juga menggunakan ijtihad Nabi Muhammad SAW yang bepegang teguh pada ilham Allah SWT untuk Nabi, atau dengan akal, pengamatan dan pertimbangan Nabi Muhammad yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT. Sehingga segala sesuatu yang diputuskan dari penetapan-penetapan tersebut, merupakan syari’at untuk umat islam dan aturan yang wajib untuk diikuti (dilaksanakan) oleh umat islam.[1]
Telah dikatakan di atas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan manusia yang memberikan penetapan hukum pada saat itu. Manusia lainnya yang memiliki permasalahan tidak dapat menetapkan hukum untuk dirinya atau orang lain. Akan tetapi pada zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat sebagian sahabat yang diutus oleh Nabi kebeberapa wilayah untuk mengurus persoalan di sana. Sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib yang diutus ke negeri Yaman, dan Muadz bin Jabal yang juga diutus ke negeri Yaman.[2] Pada sewaktu-waktu utusan Nabi Muhammad tersebut melakukan ijtihad atas peristiwa-peristiwa tertentu di wilayah tersebut dengan pemikirannya sendiri setelah dicari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada hukumnya (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah). Namun keadaan demikian, menurut Abdul Wahhab Khallafi, pada kejadian tersebut tidak menunjukkan bahwa seorang selain Nabi Muhammad berhak untuk menetapkan sebuah hokum di zaman Nabi. Karena kejadian tersebut merupakan sebagian dari peristiwa khusus yang menyulitkan untuk datang kepada Nabi Muhammad SAW, karena jauhnya perjalanan dan kekhawatiran akan hilangnya kesempatan. Sehingga hal yang demikian, baik penetapan maupun fatwa yang dibuat oleh sahabat hanyalah tatbiq (praktek), bukan tasri’ (penetapan syariat). Sehingga setiap persoalan yang diputuskan oleh sahabat dengan dasar ijtihad darinya pada suatu ketetapan atau kejadian tertentu, tidaklah menjadi hukum untuk umat muslim dan aturan yang harus ditaati, kecuali telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka pada zaman Nabi Muhammad SAW kekuasaan menetapkan hokum yang berlaku bagi umat islam berada pada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu pada zaman Nabi Muhammad tidak ditemukan dua pandangan yang berbeda untuk satu persoalan dan tidak diketahui seorang dari sahabat pada zaman ini yang melakukan dengan fatwa dan ijtihad (nya).[3]
Denagn demikian pada zaman Nabi Muhammad ini kekuasaan menetapkan hukum terletak pada Nabi Muhammad SAW, yang didasari oleh wahyu yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan juga dari pemikiran, pengamatan dan penetapan Nabi Muhammad SAW sendiri yang telah diberikan hidayah oleh Allah SAW. Sehingga pemikiran pengamatan dan penetapan Nabi Muhammad SAW merupakan sumber hokum islam seperti Al-Qur’an Al-Karim.


[1] Abdul Wahhab Khallafi, Taarikh Tasyri’ Al-Islamy, Universitas Kairo, (Penerbit dan Tahun terbitan tidak tercantum), hlm. 11.
[2] Ibid, hlm. 12.
[3] Ibid, hlm. 13.

Bidang TKI IMM Cabang Cirendeu 

0 komentar:

Posting Komentar