Edisi: Masa
Nabi Muhammad SAW
Pada awal munculnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, segala bentuk persoalan yang terjadi selalu dikembalikan kepada firman
Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat
Jibril. Jika wahyu yang diturunkan tidak datang saat muncul sebuah
permasalahan, maka Nabi Muhammad SAW yang mengeluarkan solusi dari persoalan
dengan lisan, perbuatan, dan ketetapannya, yang kemudian disebut sebagai
As-Sunnah atau Al-Hadits. Namun meskipun demikian, solusi yang dikeluarkan dari
Nabi Muhammad tersebut merupakan wahyu Allah SWT. Sebagaimana dalam surat An
Najm ayat 3-4 “dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut
keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Dengan ketetapan yang telah Allah SWT firmankan dalam ayat tersebut,
menjadikan As-Sunnah sebagai wahyu yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan
sebuah persoalan. Dengan demikian, sumber hukum pada zaman Nabi Muhammad masih
berpusat pada Al-Qur’an, jika pada persoalan tersebut firman Allah disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, dan As-Sunnah atau Al-Hadits,
jika firman Allah tersebut tidak diturunkan kepada nabi Muhammad.
Dengan keadaan sebagaimana yang tersebut di atas, menjadikan Nabi
Muhammad menjadi satu-satunya manusia yang dapat memberikan penetapan hukum
atas sebuah persoalan yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut karena masih
dapat dipermudahnya menjumpai diri Nabi Muhammad untuk menanyakan persoalan
yang terjadi pada suatu permasalahan. Oleh karena itu, tidak ada seorang di
antara umat muslim secara sendiri menetapkan suatu syariat (hokum) pada
kejadian tertentu untuk dirinya atau orang lain. Hal tersebut karena dengan
keberadaan Nabi Muhammad SAW di tengah umat islam, memudahkan umat islam untuk
menemui kepada Nabi Muhammad, sehingga umat islam dilarang untuk membuat fatwa
untuk dirinya dengan ijtihadnya terhadap suatu persoalan, atau menetapkan
ijtihadnya dalam menyelesaikan perselisihan. Akan tetapi apabila muncul
persoalan atau berkecambuk sebuat perbedaan atau muncul pertanyaan atau
permintaan fatwa, maka mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW, sehingga Nabi
memberikan fatwa (penetapan hukum) dan menyelesaikan perselisihan umat islam,
dan menjawab pertanyaan umat islam, terkadang menggunakan ayat Al-Qur’an yang
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan terkadang juga
menggunakan ijtihad Nabi Muhammad SAW yang bepegang teguh pada ilham Allah SWT
untuk Nabi, atau dengan akal, pengamatan dan pertimbangan Nabi Muhammad yang
telah diberi hidayah oleh Allah SWT. Sehingga segala sesuatu yang diputuskan
dari penetapan-penetapan tersebut, merupakan syari’at untuk umat islam dan
aturan yang wajib untuk diikuti (dilaksanakan) oleh umat islam.[1]
Telah dikatakan di atas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan manusia
yang memberikan penetapan hukum pada saat itu. Manusia lainnya yang memiliki
permasalahan tidak dapat menetapkan hukum untuk dirinya atau orang lain. Akan
tetapi pada zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat sebagian sahabat yang diutus oleh
Nabi kebeberapa wilayah untuk mengurus persoalan di sana. Sebagai contoh, Ali
bin Abi Thalib yang diutus ke negeri Yaman, dan Muadz bin Jabal yang juga
diutus ke negeri Yaman.[2]
Pada sewaktu-waktu utusan Nabi Muhammad tersebut melakukan ijtihad atas
peristiwa-peristiwa tertentu di wilayah tersebut dengan pemikirannya sendiri
setelah dicari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada hukumnya (dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah). Namun keadaan demikian, menurut Abdul Wahhab Khallafi,
pada kejadian tersebut tidak menunjukkan bahwa seorang selain Nabi Muhammad
berhak untuk menetapkan sebuah hokum di zaman Nabi. Karena kejadian tersebut
merupakan sebagian dari peristiwa khusus yang menyulitkan untuk datang kepada
Nabi Muhammad SAW, karena jauhnya perjalanan dan kekhawatiran akan hilangnya
kesempatan. Sehingga hal yang demikian, baik penetapan maupun fatwa yang dibuat
oleh sahabat hanyalah tatbiq (praktek), bukan tasri’ (penetapan
syariat). Sehingga setiap persoalan yang diputuskan oleh sahabat dengan dasar
ijtihad darinya pada suatu ketetapan atau kejadian tertentu, tidaklah menjadi
hukum untuk umat muslim dan aturan yang harus ditaati, kecuali telah ditetapkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Maka pada zaman Nabi Muhammad SAW kekuasaan menetapkan
hokum yang berlaku bagi umat islam berada pada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena
itu pada zaman Nabi Muhammad tidak ditemukan dua pandangan yang berbeda untuk
satu persoalan dan tidak diketahui seorang dari sahabat pada zaman ini yang
melakukan dengan fatwa dan ijtihad (nya).[3]
Denagn demikian pada zaman Nabi Muhammad ini kekuasaan menetapkan
hukum terletak pada Nabi Muhammad SAW, yang didasari oleh wahyu yang diwahyukan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan juga dari pemikiran, pengamatan
dan penetapan Nabi Muhammad SAW sendiri yang telah diberikan hidayah oleh Allah
SAW. Sehingga pemikiran pengamatan dan penetapan Nabi Muhammad SAW merupakan
sumber hokum islam seperti Al-Qur’an Al-Karim.
0 komentar:
Posting Komentar