Kamis, 29 Oktober 2015
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
By Unknown16.14Ciputat, Cirendeu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, IMM, IMM Cirendeu, Islam, Jakarta, Kajian, KAUMAN, Keislaman, Lambang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Lambang IMM, PC IMM Cirendeu, Program Kerja, Tabligh, UMJNo comments
Oleh : IMMawan Nurul Azmi
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bertujuan
untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam
rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Pergerakan Ikatan memang selalu berkaitan
dengan pokok pemikiran Muhammadiyah yang terpisah menjadi dua bagian, yaitu pertama,
pokok pikiran yang bersifat ideologis adalah sumber dari prinsip ajaran
Islam. Oleh karena itu subtansinya bersifat tetap dan tidak berubah. Yang perlu
barangkali adalah melakukan pembaharuan rumusan dan pengembangan maknanya,
sehingga subtansi pokok pikiran itu tetap relevan dan komunikatif sepanjang
waktu, tanpa mengubah, merevisi, atau mengganti nilai-nilai dasar yang
terkandung di dalamnya. sedangkan kedua, pokok pikiran yang bersifat
strategis yang dalam tradisi persyarikatan disebut khittah perjuangan, yang
bersifat dinamis. Artinya khittah perjuangan tersebut dapat berubah, sesuai
dengan terjadinya perubahan situasi dan kondisi yang dihadapi Muhammadiyah.
Dalam
rangka pencapaian maksud tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merumuskan
arah pergerakannya pada ketiga unsur mendasar, yaitu keagamaan (religious),
kemahasiswaan (intellectualis), dan kemasyarakatan (humanity).
Ketiga aspek tersebut sebagai tri kompetensi dasar Ikatan yang menjadi pola
kemampuan pada diri tiap kader, dan juga sebagai bentuk pola pikir pada tiap
kader Ikatan dalam mewujudkan Ikatan yang progresif. Sehingga dengan demikian
dapat mewujudkan tujuan Muhammadiyah, yaitu menjadikan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
Pembentukan
ketiga unsur mendasar tersebut di atas, perlu dilakukannya pembagian peranan
dan tugas ke dalam beberapa bidang, salah satu diantaranya yaitu Bidang Tabligh
dan Kajian Ke-Islaman, yang berguna dalam pengusahaan membentuk kepribadian
kader yang agamis, serta memahami persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan
ke-Islaman. Sebagai bentuk perwujudan hal tersebut, pemusatan arah pergerakan
Bidang Tabligh dan Kajian Ke-Islaman pada internalisasi nilai Islam pada
individu kader dan pada lingkungan, sebagai wilayah aktifitas pergerakan kader.
Dalam
proses internalisasi nilai Islam pada individu dan pada lingkungan diperlukan
keahlian yang mencukupi untuk menghadapi situasi dan tantangan yang berkembang.
Kemampuan dan keahlian dalam memetakan gerakan dakwah di kalangan mahasiswa
merupakan peran dan fungsi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, sebagai organisasi
kemahasiswaan yang berlandaskan syari’at Islam. Dalam penanaman kemampuan dan
keahlian tersebut, dibutuhkan proses kegiatan pendukung, sehingga mampu
memberikan pencerahan atas gerakan dakwah Ikatan yang bernafaskan Al Islam
Kemuhammadiyahan. Oleh karena itu, kegiatan pendukung tersebut berupa Pelatihan
Menajamen Dakwah yang diharapkan dapat menciptakan da’i-da’i muda Islam
yang mendukung cita-cita dan tujuan Muhammadiyah.
MENGENAL ILMU FIQIH
By Unknown15.57Ciputat, Dakwah, Islam, Jakarta, Jakarta. Cirendeu, Kaderisasi, Kajian, KAUMAN. Cirendeu, Keislaman, Muhammadiyah, Program Kerja, Proker, TablighNo comments
Oleh : Dr. Sopa, M.Ag[i]
A. Fiqih : Definisi dan Objek Bahasan
Secara lughawi “fiqih” berarti
pemahaman dan pengetahuan yaitu pemahaman dan pengetahuan yang mendalam. Menurut Ahmad
Hasan dalam bukunya “Pintu ijtihad Sebelum Tertutup”, masyarakat Arab
menggunakan istilah “fahlun
faqîh” untuk orang yang ahli dalam mengawinkan unta karena ia dapat
membedakan antara unta betina yang sedang birahi dengan unta betina yang sedang
bunting.
Cakupannya meliputi semua
bidang ilmu agama sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya “liyataqqahû
fiddîn” yang berarti “agar mereka
melakukan pemahaman dalam agama”. Begitu juga dalam salah satu hadisnya
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki Allah suatu
kebaikan, niscaya ia diberi pemahaman yang mendalam tentang agamanya”. Hal
ini terbukti ketika beliau mendoakan pamannya, Abdullah bin Abbas yang lebih
dikenal dengan Ibn Abbas, dengan doanya sebagai berikut, “Ya Allah
berikanlah kepadanya pemahaman atas agama”. Doa beliau terkabul sebagaimana
kita saksikan dalam sejarah, Ibn Abbas dikenal sebagai sahabat Nabi saw yang
paling mumpuni di bidang “tafsir al-Qur’an” yang menjadi rujukan bagi
mufasir-mufasir berikutnya.
Atas dasar itu, maka Abu
Hanifah (w. 150 H) menulis buku “al-Fiqh al-Akbar” yang berisi tentang prinsip-prinsip
dasar Islam seperti keimanan, keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, kehidupan
akhirat, kerasulan dan lain-lain. Dengan perkataan lain, buku itu berisi
tentang akidah karena akidah merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat
penting yaitu sebagai pondasi dalam kehidupan keberagamaan kita.
Arti fiqih yang sangat luas yaitu
mencakup semua bidang ilmu agama kemudian menyempit menjadi hukum Islam. Atas
dasar itu, maka Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya “’Ilm Ushul al-Fiqh”
memberikan definisi fiqih sebagai “pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diusahakan dari dalil-dalilnya
secara terperinci”.
Dari definisi tersebut, paling
tidak terdapat tiga elemen fiqih yaitu hukum syara’, perbuatan mukallaf dan
dalil. Berdasarkan elemen pertama yaitu hukum syara’, maka terkadang fiqih diidentikkan dengan hukum syara’ atau hukum
Islam atau syari’at Islam. Elemen hukum inilah yang membedakan “fiqih” dengan
“akidah” yang berisi keyakinan di dalam hati dan “akhlak” yang berisi sifat
yang menghiasi jiwa manusia.
Elemen kedua berupa perbuatan.
Fiqih hanya mengatur aspek hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang dilakukan oleh anggota badan manusia. Atas dasar itu, fiqih hanya mengatur
aspek zhahir atau lahiriah yaitu perbuatan yang dapat dijangkau oleh panca
indera seperti melihat, mendengar, mencium, berdiri, dan sebagainya.
Eelemen ketiga berupa dalil.
Fiqih dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syara’ baik dalil-dalil syara’ yang
sudah disepakati (al-muttafaq ‘alaih) seperti al-Qur’an, hadis, ijma’
dan qiyas, maupun dalil-dalil syara’ yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf
fîh) seperti istihsân,
istishlâh, istishâb, dan sebagainya. Faktor inilah yang
membedakan antara fiqih dengan “hukum
positif” yaitu produk hukum buatan
manusia yang dihasilkan berdasarkan pemikiran dan adat kebiasaan. Atas dasar
inilah “fiqih” mengandung nilai transenden karena dirumuskan berdasarkan
dalil-dalil syara’, sedangkan hukum positif bersifat imanen karena dirumuskan
hanya berdasarkan akal dan adat kebiasaan.
Sebagaimana layaknya disiplin
ilmu, “fiqih” mempunyai obyek materi dan obyek forma. Obyek materi menjelaskan
apa yang menjadi obyek bahasan suatu ilmu (ontology), sedangkan obyek forma
menjelaskan perspektif atau tinjauan bahasan tersebut. Dari definisi di atas, jelaslah bahwa yang
menjadi objek bahasan fiqih adalah perbuatan mukallaf (fi’lul mukallaf) ditinjau
dari segi hukum syara’.
Hukum syara’ yang dimaksud di
sini ada dua macam yaitu hukum Taklîfî dan hukum Wadh’î. Terdapat lima norma
dalam hukum Taklîfî yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah sehingga
disebut “ahkam al-khamsah”. Misalnya, puasa Ramadhan dan puasa
nadzar hukumnya wajib, sedangkan puasa tiap hari Senin dan Kamis hukumnya sunnah.
Puasa pada hari raya (idul fitri dan idul adha) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, & 13 Dzulhijjah)
hukumnya haram, sedangkan seorang isteri berpuasa tanpa izin suaminya hukumnya
makruh. Makan dan minum di malam hari bulan Ramadhan hukumnya mubah sehingga
boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan.
Sementara itu, dalam hukum Wadh’î
terdapat tujuh norma, yaitu sabab, syarat, sah, batal, azimah, rukhshah dan
mani’. Dengan demikian, perbuatan mukallaf itu dapat ditinjau dari ketujuh
norma tersebut. Misalnya, salat Dzhuhur dan Asar diwajibkan disebabkan
tergelincirnya matahari. Salat tersebut bila dilakukan dengan memenuhi semua
syarat dan rukunnya menjadi sah. Sebaliknya, bila tidak terpenuhi syarat dan
rukunnya menjadi tidak sah seperti tidak menghadap kiblat. Salat Dzhuhur dan
Asar dikerjakan 4 rakaat - 4 rakaat (tâmm) merupakan azimah, sedangkan bila dikerjakan 2
rakaat-2 rakaat (qashar) termasuk rukhshah. Perbedaan agama antara
pewaris dan ahli waris menjadi penghalang (mâni’) terjadinya kewarisan
antara orang tua dengan anaknya.
B. Karakteristik
Fiqih
Paling
tidak terdapat 4 karakteristik ilmu Fiqih yang membedakannya dengan disiplin
ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti ilmu Tauhid dan ilmu Akhlak. Pertama,
fiqih menghasilkan kebenaran yang
relative, tidak mutlak karena kebenaran mutlak hanya milik Allah sedangkan
fiqih merupakan hasil ijtihad para ulama. Oleh karena itu, fiqih dinisbahkan
kepada ulama yang merumuskannya seperti fiqih Hanafi, Fiqih Maliki, fiqih
Syafi’I dan fiqih Hambali. Hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa juga salah
sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Bila
seorang hakim berijtihad kemudian benar maka mendapatkan dua pahala dan bila
salah mendapat satu pahala”.
Kedua,
fiqih itu bersifat dinamis sehingga bisa berkembang mengikuti perkembangan
zaman. Ajaran Islam dalam fiqihlah yang bersifat elastis sehingga dapat
diterapkan di sepanjang zaman dan di semua tempat di muka bumi (shâlihun
likulli zamânin wa makânin). Atas dasar inilah maka implementasi fikih bisa
berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lain atau
antara satu negara dengan negara yang lain seperti fiqih di Indonesia bisa
berbeda dengan fiqih di Mesir dan di Pakistan.
Ketiga, ruang lingkup bahasan dalam ilmu Fiqih itu
komperihensip yaitu meliputi semua aspek kehidupan umat manusia dari mulai
bangun tidur sampai tidur kembali. Bahasan fiqih juga meliputi kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan antar negara (internasional). Bahasan
fiqih juga meliputi aspek perdata, pidana, ketetatanegaraan dan internasional.
Keempat,
fiqih memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat para ulama. Banyak factor yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat tersebut sehingga melahirkan fiqih ikhtilaf yang
nanti akan dibahas pada tulisan berikutnya.
C. Faedah Mempelajari Fiqih
Dengan
mempelajari ilmu Fiqih kita dapat memetic manfaat berikut ini. Pertama, memberi pemahaman tentang
berbagai aturan dalam hukum Islam secara
mendalam. Dengan demikian, kita dapat
memahami norma-norma hukum Islam yang mesti kita patuhi. Pemahaman ini sangat
penting agar kita tidak terjerumus dalam lembah dosa dan maksiat karena
perbuatan tersebut dilarang dalam agama kita.
Kedua, menjadi patokan
atau panduan dalam berbuat atau bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, semua tindakan dan perbuatan kita selalu mengacu pada norma-norma
yang ada dalam fiqih. Kita mempunyai panduan yang jelas dalam menempuh hidup
dan kehidupan ini sehingga dapat mengantarkan
kita bahagia dalam kehidupan di dunia kini dan selamat dalam kehidupan
di akhirat kelak.
[i] Penulis adalah dosen FAI UMJ dan saat ini menjabat sebagai Kaprodi
magister Studi Islam Pascasarjana UMJ