Kamis, 29 Oktober 2015

MENGENAL ILMU FIQIH


Oleh : Dr. Sopa, M.Ag[i]

A. Fiqih : Definisi dan Objek Bahasan
Secara lughawi “fiqih” berarti pemahaman dan pengetahuan yaitu pemahaman  dan pengetahuan yang mendalam. Menurut Ahmad Hasan dalam bukunya “Pintu ijtihad Sebelum Tertutup”, masyarakat Arab menggunakan  istilah “fahlun faqîh” untuk orang yang ahli dalam mengawinkan unta karena ia dapat membedakan antara unta betina yang sedang birahi dengan unta betina yang sedang bunting.
Cakupannya meliputi semua bidang ilmu agama sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya “liyataqqahû fiddîn  yang berarti “agar mereka melakukan pemahaman dalam agama”. Begitu juga dalam salah satu hadisnya Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, niscaya ia diberi pemahaman yang mendalam tentang agamanya”. Hal ini terbukti ketika beliau mendoakan pamannya, Abdullah bin Abbas yang lebih dikenal dengan Ibn Abbas, dengan doanya sebagai berikut, “Ya Allah berikanlah kepadanya pemahaman atas agama”. Doa beliau terkabul sebagaimana kita saksikan dalam sejarah, Ibn Abbas dikenal sebagai sahabat Nabi saw yang paling mumpuni di bidang “tafsir al-Qur’an” yang menjadi rujukan bagi mufasir-mufasir berikutnya.
Atas dasar itu, maka Abu Hanifah (w. 150 H) menulis buku “al-Fiqh al-Akbar” yang berisi tentang prinsip-prinsip dasar Islam seperti keimanan, keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, kehidupan akhirat, kerasulan dan lain-lain. Dengan perkataan lain, buku itu berisi tentang akidah karena akidah merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat penting yaitu sebagai pondasi dalam kehidupan keberagamaan kita.
Arti fiqih yang sangat luas yaitu mencakup semua bidang ilmu agama kemudian menyempit menjadi hukum Islam. Atas dasar itu, maka Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya “’Ilm Ushul al-Fiqh” memberikan definisi fiqih sebagai “pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diusahakan dari dalil-dalilnya secara terperinci”.
Dari definisi tersebut, paling tidak terdapat tiga elemen fiqih yaitu hukum syara’, perbuatan mukallaf dan dalil. Berdasarkan elemen pertama yaitu hukum syara’,  maka terkadang  fiqih diidentikkan dengan hukum syara’ atau hukum Islam atau syari’at Islam. Elemen hukum inilah yang membedakan “fiqih” dengan “akidah” yang berisi keyakinan di dalam hati dan “akhlak” yang berisi sifat yang menghiasi jiwa manusia.
Elemen kedua berupa perbuatan. Fiqih hanya mengatur aspek hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang dilakukan oleh anggota badan manusia. Atas dasar itu, fiqih hanya mengatur aspek zhahir atau lahiriah yaitu perbuatan yang dapat dijangkau oleh panca indera seperti melihat, mendengar, mencium, berdiri, dan sebagainya.
Eelemen ketiga berupa dalil. Fiqih dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syara’ baik dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati (al-muttafaq ‘alaih) seperti al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, maupun dalil-dalil syara’ yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fîh)  seperti istihsân, istishlâh, istishâb, dan sebagainya. Faktor inilah yang membedakan antara fiqih dengan  “hukum positif” yaitu produk hukum  buatan manusia yang dihasilkan berdasarkan pemikiran dan adat kebiasaan. Atas dasar inilah “fiqih” mengandung nilai transenden karena dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syara’, sedangkan hukum positif bersifat imanen karena dirumuskan hanya berdasarkan akal dan adat kebiasaan.
Sebagaimana layaknya disiplin ilmu, “fiqih” mempunyai obyek materi dan obyek forma. Obyek materi menjelaskan apa yang menjadi obyek bahasan suatu ilmu (ontology), sedangkan obyek forma menjelaskan perspektif atau tinjauan bahasan tersebut.  Dari definisi di atas, jelaslah bahwa yang menjadi objek bahasan fiqih adalah perbuatan mukallaf (fi’lul mukallaf) ditinjau dari segi hukum syara’.
Hukum syara’ yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu hukum Taklîfî dan hukum Wadh’î. Terdapat lima norma dalam hukum Taklîfî yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah sehingga disebut “ahkam al-khamsah”. Misalnya, puasa Ramadhan dan puasa nadzar hukumnya wajib, sedangkan puasa tiap hari Senin dan Kamis hukumnya sunnah. Puasa pada hari raya (idul fitri dan idul adha) dan hari-hari tasyriq  (tanggal 11, 12, & 13 Dzulhijjah) hukumnya haram, sedangkan seorang isteri berpuasa tanpa izin suaminya hukumnya makruh. Makan dan minum di malam hari bulan Ramadhan hukumnya mubah sehingga boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan.  
Sementara itu, dalam hukum Wadh’î terdapat tujuh norma, yaitu sabab, syarat, sah, batal, azimah, rukhshah dan mani’. Dengan demikian, perbuatan mukallaf itu dapat ditinjau dari ketujuh norma tersebut. Misalnya, salat Dzhuhur dan Asar diwajibkan disebabkan tergelincirnya matahari. Salat tersebut bila dilakukan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya menjadi sah. Sebaliknya, bila tidak terpenuhi syarat dan rukunnya menjadi tidak sah seperti tidak menghadap kiblat. Salat Dzhuhur dan Asar dikerjakan 4 rakaat - 4 rakaat (tâmm)  merupakan azimah, sedangkan bila dikerjakan 2 rakaat-2 rakaat (qashar) termasuk rukhshah. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris menjadi penghalang (mâni’) terjadinya kewarisan antara orang tua dengan anaknya.

B. Karakteristik Fiqih
            Paling tidak terdapat 4 karakteristik ilmu Fiqih yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti ilmu Tauhid dan ilmu Akhlak. Pertama, fiqih menghasilkan kebenaran  yang relative, tidak mutlak karena kebenaran mutlak hanya milik Allah sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad para ulama. Oleh karena itu, fiqih dinisbahkan kepada ulama yang merumuskannya seperti fiqih Hanafi, Fiqih Maliki, fiqih Syafi’I dan fiqih Hambali. Hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa juga salah sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Bila seorang hakim berijtihad kemudian benar maka mendapatkan dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala”.
            Kedua, fiqih itu bersifat dinamis sehingga bisa berkembang mengikuti perkembangan zaman. Ajaran Islam dalam fiqihlah yang bersifat elastis sehingga dapat diterapkan di sepanjang zaman dan di semua tempat di muka bumi (shâlihun likulli zamânin wa makânin). Atas dasar inilah maka implementasi fikih bisa berbeda  antara  satu daerah  dengan daerah yang lain  atau antara satu negara dengan negara yang lain seperti fiqih di Indonesia bisa berbeda dengan fiqih di Mesir dan di Pakistan.
            Ketiga,  ruang lingkup bahasan dalam ilmu Fiqih itu komperihensip yaitu meliputi semua aspek kehidupan umat manusia dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Bahasan fiqih juga meliputi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan antar negara (internasional). Bahasan fiqih juga meliputi aspek perdata, pidana, ketetatanegaraan dan internasional.
            Keempat, fiqih memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat para  ulama. Banyak factor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut sehingga melahirkan fiqih ikhtilaf yang nanti akan dibahas pada tulisan berikutnya.

C. Faedah Mempelajari Fiqih
            Dengan mempelajari ilmu Fiqih kita dapat memetic manfaat berikut ini. Pertama, memberi pemahaman tentang berbagai  aturan dalam hukum Islam secara mendalam. Dengan demikian,  kita dapat memahami norma-norma hukum Islam yang mesti kita patuhi. Pemahaman ini sangat penting agar kita tidak terjerumus dalam lembah dosa dan maksiat karena perbuatan tersebut dilarang dalam agama kita.
Kedua, menjadi patokan atau panduan dalam berbuat atau bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semua tindakan dan perbuatan kita selalu mengacu pada norma-norma yang ada dalam fiqih. Kita mempunyai panduan yang jelas dalam menempuh hidup dan kehidupan ini sehingga dapat mengantarkan  kita bahagia dalam kehidupan di dunia kini dan selamat dalam kehidupan di akhirat kelak.



[i] Penulis adalah dosen FAI UMJ dan saat ini menjabat sebagai Kaprodi magister Studi Islam Pascasarjana UMJ


0 komentar:

Posting Komentar